Wednesday, November 22, 2006

Ritual Transenden dalam Tradisi Bercocok Tanam


Hasil yang paling nyata dari sebuah kemajuan seperti sekarang ini adalah merajalelanya kemubadziran-kemubadziran. Terlalu banyak barang, teori, maupun perbuatan yang secara prinsipil amat sangat berlebihan. Padahal hidup dalam perspektifnya yang sederhana tidaklah terlalu muluk.
Pandangan tradisional tentang hidup selalu menempatkan equiblibrimitas di atas segalanya. Bahwa hidup pada maknanya yang hakiki adalah keselarasan. Dan keselarasan tidaklah terlalu membutuhkan banyak hal. Keselarasan lebih menekankan keseimbangan, bukan hanya pada aspek mentalitas melainkan juga pada tindakan.
Dalam konteks masyarakat dewasa ini keselarasan menjadi suatu hal yang musykil. Tidak saja karena adanya kelimpahan material tetapi juga karena telah terjadi chaos sistematik di berbagai dimensi hidup. Disinilah paradoksnya manusia modern yang selalu menganggap sesuatu secara terpisah. Trend dewasa ini mengkampanyekan keselarasan spritual di atas carut marut sosial. Bahwa seseorang bisa saja mengakses tingkatan alam yang lebih tinggi meskipun dia adalah kaum borjuis. Bahkan kapitalisme diklaim mengarah ketingkat yang lebih spritual. Ini tak lebih dari sekedar apologi untuk mempertahankan status quo belaka.
Berbeda dengan pandangan modern yang terpisah-pisah, cara pandang tradisional selalu menempatkan hidup sebagai sebuah kesatuan. Dalam urusan pekerjaan, ia tidak dimaknai sebagai sebuah ikhtiar kemanusiaan mencari nafkah belaka, melainkan ia bagian dari sebuah perayaan. Jadi kerja fisik dalam satu tindakan nyata menegaskan tidak saja kewajiban kemanusiaan, tetapi mencakup didalamnya ritual, estetis dan bahkan estatik.
Kalau kita mencermati perilaku bercocok tanam dalam masyarakat yang masih mempertahankan tradisi ini, kita akan mendapati sederetan aktifitas yang didalamnya mencakup makna kesatuan ini. Sebelum benih padi siap ditanam, maka ada beberapa perlakuan yang menjadi keharusan. Terleih dahulu bibit diseleksi berdasarkan kwalitasnya. Setelah itu dimulailah ritual maddoja bine (ritual penghormatan terhadap benih yang diselenggarakan semalam suntuk). Di dalam ritual itu biasanya ada acara massure (pembacaan kisah sangiangseri dengan meongpaloe) dengan lagu yang menyayat hati. Tradisi massure ini telah menggabungkan kemampuan bertutur dengan seni suara.
Keesokan harinya dilanjutkanlah ritual mampo (menabur benih). Mampo bukanlah sekedar melempar benih secara sembarangan diersemaian. Tetapi ia harus diperlakukan dengan penuh khidmat. Bahkan harus melibatkan gerak-gerak lembut yang banyak menginspirasi penciptaan kreasi tari.
Setelah benih tersebut tumbuh dan mencapai masa tanam, maka dilakukanlah ritual massisi (mencabut benih). Kerja massisi ini pun membutuhkan ketelatenan dan uji kesabaran yang kental. Kerja massisi ini hanya bisa dilakukan secara maksimal oleh orang-orang yang stabil emosinya.
Benih yang sudah tercabut kemudian di tanam dipesawahan dalam ritual mattaneng (menanam padi). Setelah dalam masa tertentu padi mengeluarkan buahnya, maka diselenggarakanlah ritual maddupa buase ( suka cita keluarnya buah). Selanjutnya ketika buah padi tersebut mulai matang maka dimulailah ritual mappefulu (ritual menandai kematangan padi). Biasanya juga diselenggarakan pesta kecil mabbette (membuat panganan tradisional dengan menumbuk buah yang belum matang kemudian dicampur gula merah).
Prosesi selanjutnya adalah mengngala (panen). Dilanjutkan dengan mabbaca doang ase baru (syukuran atas adanya padi baru).
Setelah keseluruhan ritual itu diselenggarakan dalam rentang waktu yang panjang, maka diselenggarakanlah ritual padendang (ritual menumbuk lesung secara berirama). Uniknya, kalau seluruh ritual sebelumnya dilaksanakan sendiri-sendiri, di dalam ritual padendang diselenggarakan secara massal. Ritual padendang merefleksikan tanda kesyukuran sosial atas rezki yang melimpah.
Apa yang menarik dari rangkaian ritual petani tersebuat adalah kentalnya upaya transendensi. Pekerjaan tidak hanya dimaknai sebagai media untuk cari nafkah melainkan selalu ada upaya untuk membuktikan penghambaan kepada penciptaNya. Sakralitas sebuah pekerjaan ditandai dengan ritual mappammula (pembukaan). Ritual ini merupakan sejenis meditasi singkat yang di awali dengan pembakaran kemenyan dan minyak bauu (minyak mawar). Dalam meditasi itu, syair-syair dibacakan dengan sepenuh keyakinan.
Cara pandang holistik menempatkan kejamakan dalam kesatuan. Bahwa hidup bukanlah sesuatu yang terpisah melainkan nyata dalam keutuhannya. Disitulah gerak duniawi menemukan muaranya ke yang spritual karena proses transendensi tidak hanya berlaku pada ibadah ritual sebagaimana kaum formalis memaknainya. Tetapi hidup itu sendiri adalah ritual. Kerja itu sendiri adalah perayaan.

No comments: