Sunday, December 03, 2006

Yabelale dalam Versi Walianglangi

Yabelalale/ Matinroni (ibecce/labaco)/ Manippi mallongi-longi/ Menre ri boting langi/ Lolongeng faddisengeng matanrede/ Faddisengeng mawwaliang langi/ Nasiruntana Fuakku Mallenrungnge/ Fuakku Mahdi ritajengnge/

Reff

Nappalesu mappakatajang rilinoe/

Nasalewangenna atuo-tuongengnge/ Namadecenna fabbanuae/ Mannenenungeng toni uddanie ri Fuang Maraja-E

Artinya :

Yabelale (sebuah kidung yang dinyanyikan seorang Bunda kepada anaknya yang sedang diayun). Telah tertidur (nama anak pr/lk). Bermimpi mengawang-awang. Terbang kearsy. Mendapatkan pengetahuan tertinggi. Yakni Pengetahuan huduri (walianglagi secara tekstual diartikan membalik langit berarti pengetahuan khuduriah). Maka berjumpalah dengan Imamku yang Ghaib(Fuakku dalam konteks tradisional tidak hanya dipakai kepada Tuhan sebagai Fuang sewwaE, tetapi juga untuk menunjukkan penghormatan kepada Junjungan pemegang otoritas, selengkapnya lihat meditasi appangolongeng). Imam Mahdi yang ditunggu-tunggu. Kemudian kembalilah mencerahkan masyarakatnya. Lantas terciptalah kehidupan yang harmoni. Tatanan masyarakat dipertbaiki. Maka bersemayamlah kerinduan disetiap insan untuk berjumpa dengan TuhanNya.

Penjelasan :

Syair diatas adalah gubahan yang diadaptasi dari yabelale leluhur yang hanya sekedar hendak melenakan bayinya dan sedikit pesan pengharapan. Dalam syair adaptasi ini telah dipenuhi dengan muatan filosofis paling puncak dalam empat perjalanan al asfar. Meskipun mungkin terlalu berat bagi bayi tapi dengan melagukan secara mendalam dengan penghayatan paling meditative diharapkan dapat mentransmisikan harapan agar buah hati kelak bias menjadi pembela-pembela al Qaim. Dengan lagu yang mendayu-dayu syair ini berdasarkan pengalaman bisa menmbuat engkau bercucuran air mata.

Bagi sahabat-sahabat yang berminat bagaimana menyanyikan lagu tersebut bisa menghubungi metaekstase.

Ritual Madduppa Keteng

Ritual maddupa keteng merupakan salah satu tata cara menyambut datangnya bulan ramadhan. Maddupa keteng dalam bahasa Bugis artinya menyambut bulan. Ritual ini biasanya diselenggarakan sesaat setelah terbenamnya matahari dan penanggalangan hijriah memasuki 1 ramadhan.
Tentu saja ritual maddupa keteng sebagaimana yang biasa diselenggarakan oleh masyarakat tradisional tidak disyariatkan oleh nabi Islam. Tetapi justru merupakan aktualisasi dari salah satu sabda Nabi, “ Barang siapa yang gembira dengan datangnya bulan ramadhan maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya.” Sabda tersebut kemudian diterjemahkan secara sosiologis berdasarkan kondisi masyarakat pada zamannya. Hal itu dianggap sebagai sebuah manaa (warisan) leluhur yang terus dilestarikan sampai saat ini meskipun dengan distorsi makna disana sini.
Sehari sebelum memasuki 1 ramadhan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi ini mulai disibukkan dengan persiapan acara penyambutan bulan baru. Disamping mempersiapkan hidangan sebagai ungkapan kesyukuran mabbaca doang (membaca doa) mereka juga mulai menumbuk kemiri untuk dibuat pesse pelleng ( lilin yang terbuat dari kemiri).
Sesat setelah matahari terbenam dan kegelapan mulai menyergap, pesse pelleng tersebut dinyalakan. Ritual ini disebut dengan mappepe-pepe. Dimulai dari tempat-tempat yang disakralkan seperti makam orang-orang yang dianggap suci maupun mesjid-mesjid. Ritual ini menegaskan bahwa puang lise kampong (pemimpin atau orang yang dituakan dalam masyarakat) harus terlebih dahulu memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya.
Setelah tetua adat memberi tanda bahwa ritual mappepe-pepe sudah dilaksanakan dipelataran suci maka dimulailah ritual itu dilaksaanakan dirumah-rumah penduduk. Terlebih dahulu pesse pelleng harus dinyalakan di posi bola (rumah panggung tradisional menetapkan satu tiang tengah sebagai pusat rumah). Hal ini memiliki makna secara simbolik. Bahwa dalam menyambut datangnya bulan keberkahan terlebih dahulu hati sebagai pusat watakkale (tubuh) harus diterangi oleh cahaya keinsyafan.
Pada saat pesse pelleng selesai dinyalakan di posi bola dilanjutkanlah dengan menancapkan lilin tradisional itu pada setiap tiang keliling rumah. Hal ini mmenegaskan tentang pentingnya menyalakan cahaya kesadaran dalam setiap batang tubuh. Mengingat dalam bulan ramadhan tubuh, pikiran dan hati harus dibebaskan dari nafsu hewaniah yang rendah.
Ketika keseluruhan tiang telah dinyalakan dan laleng pola ( rumah bagian dalam) berada dalam keadaan terang benderang maka ritual diakhiri dengan menyalakan rangkaian pesse pelleng yang ditancapkan berjejer pada pelepah keladi hutan sebelah menyebelah. Kemudian ornament tradisional tersebut digantung disepan pintu masuk lego-lego (teras rumah panggung yang bersambung dengan tangga). Hal nii menegaskan pentingnya penyambutan rahmat (pammase) dan keberkahan (barakka) bulan ramadhan setelah terlebih dahulu kegelapan nafsiah diganti dengan cahaya ketulusan batiniah. Pada tahap penyambutan keberkahan ramadhan pada gerbang setiap diri dengan penuh kehidmatan dan kesyukuran itulah terletak makna kegembiraan yang sesungguhnya. Di sini sabda nabi menemukan korelasinya dengan sangat realistic.
Setelah rangkaian ritual mappepe-pepe selesai maka digelarlah perjamuan dan doa. Pada acara mabbaca doing itulah makna kegembiraan menemukan aktualisasinya. Dimana pada saat itu tetangga-tetangga dan sanak keluarga saling mengunjungi dan mencicipi hiudangan penyambutan dengan penuh suka cita.
Ritual maddupa keteng sebagaimana yang diuraikan rentetan di atas merupakan sepenggal tradisi yang pada maknanya yang terdalam memiliki muatan yang sangat positif. Hal ini dilandasi oleh cara pandang tradisional yang selalu melihat segala sesuatu sebagai sebuah kesatuan. Bahwa penyucian batin selalu ditegaskan dengan adanya penyucian simbolik lahiriah.
Maddupa keteng juga memuat serangkaian pesan-pesan terdalam terhadap bulan ramadhan. Disamping tentu saja sebagai ungkapan idjtihadi leluhur kita dalam mengapresiasi bentuk penghormatannya terhadap barakka (keberkahan) ramadhan. Dengan demikian ritual ini bisa pula dianggap sebagai gerak teatrikal masyarakat sebagai bentuk terjemahan atas pandangan dunianya.


Tamalanrea Writing Institute (Lettepareppa)

Monday, November 27, 2006

Kedasyahatan Uwwae Bunge (Air Hidup)

Belakangan ini mulai ramai bisnis air minum dalam kemasan. Ada yang murni air pegunungan semisal Aqua, ada yang sekedar air ledeng yang melalui proses penyaringan, atu bahkan ada yang betul-betul air mentah tanpa penyaringan. Air minum itupu n tidak lagi sekedar menghilangkan rasa haus belaka tetapi telah dibumbuhi dengan kata mineral, vitamin atau berbagai macam istilah kimia yang menyedot simpati orang awam. Penyertaan embel-embel itu tidaklah tanpa dasar sama sekali. Hal itu telah melalui proses penelitian ilmiah dengan akurasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Bahkan terakhir ada bisnis jaringan yang getol mengkampanyekan air kesehatan untuk penyembuhan berbagai penyakit.
Air untuk penyembuhan yang dimaksud adalah air yang telah melalui proses penyaringan tertentu sehingga memungkinkan terjadinya komposisi molekul yang aktif pada air tersebut. Beda dengan air yang telah dimasak atau air yang melalui penyaringan yang kurang sempurna sehingga air tersebut menjadi mati. Air yang demikian itu jika diminum hanya akan menghilangkan rasa haus belaka tetapi tidak menyembuhkan. Bahkan mungkin dapat mengakibatkan timbulnya penyakit.
Metode pengobatan dengan terapi air ini misalnya telah dikembangkan oleh Oxy, Biodeen dll. Dasar yang paling kuat dari terapi ini adalah, tubuh manusia terdiri dari 70% air. Sehingga kunci utama segala jenis penyakit terletak pada cairan tubuh yang terdiri dari air tersebut.
Jauh sebelum ditemukannya penelitian yang rada-rada ilmiah tentang terapi air tersebut, orang-orang terdahulu telah mengembangkan metode pengobatan dengan terapi air. Dan yang unik dan agak relevan dengan hasil penelitian mutakhir, mereka tidak mau menggunakan air yang telah dimasak ataupun air yang telah dipergunakan untuk kepentingan lain. Air yang akan dijadikan sebagai penyembuh itu adalah air yang berasal dari mata air yang mengalir. Rasionalisasinya, sebagimana yang telah diulas terdahulu bahwa air hidup itu mengandung molekul yang aktif. Keaktifan air itu menyebabkan ia memiliki tenaga untuk menyembuhkan. Dengan kata lain molekul air yang tersusun aktif tersebut dapat mentransmisikan energi dari sang Tabib yang menggunakan medium air tersebut.
Perbedaan terapi air modern dengan terapi tradisional terletak pada transmisi energi yang dilakukan oleh Tabib ke medium air. Transmisi tersebut memberikan sugesti spiritual kepada pasien yang kelak menggunakannya. Penelitian mutakhir juga menemukan bahwa aspek sugesti spiritual lebih memiliki daya penyembuh sekian persen dibandingkan dengan obat yang sesungguhnya. Terapi modern meletakkan sugestinya kepada penjelasan rasional dari setiap produk yang mereka pasarkan. Makanya terapi penyembuhan air yang berbentuk multi level selalu mementingkan pertemuan-pertemuan di mana didalamnya dilaksanakan motivasi untuk mendongkrak semangat anggotanya. Sehingga dengan demikian, baik terapi air tradisional maupun yang modern masing-masing mensyaratkan dua hal; pertama, air tersebut adalah air hidup (uwwae Bunge) dan yang kedua, transmisi energi baik melalui sugesti spiritual jampi-jampi maupun sugesti system penjelas rasional.
Tetapi keduanya berbeda dari segi epistemologis maupun kepentingan ideologis dibaliknya. Terapi tradisional tentu tidak sembarang orang yang bias melakukannya karena hal itu membutuhkan adanya transmisi spiritual. Sedangkan untuk membangkitkan energi spiritual seseorang harus melalui riadhah tertentu. Latihan spiritual itu baik berupa dzikir maupun penyucian diri. Dengan persyaratan yang sedemikian ini seseorang akan menjalani system hidup yang betul-betul terkontrol secara akhlaki. Karena transmisi spiritual mensyaratkan adanya keselarasan dengan syariat.
Perbedaan yang mencolok lainya adalah kentalnya kepentingan bisnis dalam terapi air modern. Seolah-olah segala masalah kesehatan akan selesai dengan terapi air. Sehingga konsumen diiming-imingi dengan janji kesehatan yang lebih baik dengan menjalani terapi itu. Hal ini mengakibatkan terapi air modern bersifat elitis, yakni hanya bias dijangkau oleh kalangan berduit atau orang-orang miskin yang memaksa diri untuk menggunakannya dengan iming-iming menggiurkan. Pertanyaannya kemuadian adalah, kalau ada terapi yang lebih murah kenapa harus yang lebih mahal ? Kalau ada terapi yang mengikusertakan perbaikan spiritual kenapa harus yang semata-mata bisnis ? Dan kalau ada terapi yang telah diwariskan nenek moyang kita yang belakangan telah terbukti ilmiah, kenapa mesti ikut-ikutan ?

Wednesday, November 22, 2006

Lettepareppa Menggugat Indonesia

Leluhurku
Dua Tomanurung bertanding meditasi
Dipuncak Batu Sin dan Coppo Assokkoreng
Yang kalah dipenggal kepalanya
Dipotong potong jasadnya
Ditanam terpisah menjelma Jera’ Appakarajangeng
Yang menang
Menitis dalam Ajjuarekku Fuang Mallenrungnge
Dalam wilayahnya yang terpencil
Dalam peradabannya yang bersahaja
Di Arajang Tanah Sering Wanua Tua yang kubanggakan
Di situlah sejarah digurat dalam batinku sejak aku masih belia
Melekat erat dalam ingatanku
Menggelora dalam darah bugisku
Menyesak cita-citaku
Leluhurku
Rilaleng parekkeng wennang putena
Ri kasiang Allenrungeng Lette pareppa
Tak pernah tunduk dan ditaklukkan
Tidak ri pitu ulunna Salo
Tidak ri ajang tappareng
Tidak ri sumpa palapa
Tidak kepada kompeni
Dan bahkan tidak kepada Indonesia
Ya ! Republik ini adalah penjajah
Yang telah menindas leluhurku
Tanah Jawa
Aristokrat dilanggengkan
Tapi di negeriku :
Kehormatannya dilucuti
Lontaranya dicuri
Kulturnya dihabisi
Dan rakyatnya ….
Dipecundangi !
Kini
Didetik proklamasi ini
Aku menggugat kemerdekaanku !
Syair Duppa Mata

Duppa mata eru mata
Iyyapa namanyameng nyawana yanu
Iyya’pa naita
Iyya’pa natuju mata

Salah satu ciri intelektualitas orang-orang terdahulu adalah kemampuannya memformulasi bahasa makna. Bahasa yang memiliki kedalaman pengertian serta cita rasa sastra yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari peninggalan manuskrip baik dalam bentuk kitab lontara maupun melalui syair-syair paremma, yaitu mantra singkat yang diwariskan dengan amat rahasia.
Kalu kita mencermati salah satu syair paremma di atas, kita akan mendapati paling tidak beberapa hal. Pertama, kesepadanan bahasa yang tertata estetis. Di dalamnya terdapat pengulangan-pengulangan yang bermakna penegasan. Selain itu, pengulangan tersebut tidaklah berarti pemborosan karena meskipun tulisannya kelihatan sama tapi cara membaca yang sarat penekanan justru menimbulkan pengertian yang lain.
Duppa mata berarti bertemu pandang. Eru mata berarti kerlingan mata. Jadi suku kata pertama adalah bertemunya pandangan mata sedang yang kedua menegaskan cara pertemuan dalam bentuk kerlingan mata. Iyyapa namanyameng nyawana dapat diartikan bahwa nanti perasaan obyek yang dipandang itu akan diliputi kenikmatan jika Iyya’pa naita (ketika saya yang dilihat), iyya’pa natuju mata (nanti saya yang dipandang ). Iyyapa dan iyya’pa adalah dua kata yang tulisannya dalam aksara lontara sama tetapi memiliki makna yang berbeda.
Kedua, syair paremma tersebut dapat digolongkan ke dalam mantra pemikat. Kekuatannya terletak pada kemampuannya membangkitkan energi pembacanya. Dengan padanan bahasa yang estetis dapat menimbulkan rasa percaya diri yang tinggi. Kepercayaan diri tersebut memicu pergerakan energi dalam diri pemakainya.
Ketiga, Pergerakan energi tersebut berputar dalam tubuh sebagaimana dalam teknik meditasi Tao. Meskipun energi tersebut masih tergolong kasar tetapi memiliki daya hipnotis yang luar biasa. Pertemuan pandangan mata memungkinkan terjadinya transfer energi ke lawan jenis dengan amat sangat cepat. Mengingat mantra tersebut mengharuskan adanya penyebutan nama obyek yang dipandang. Pengiriman sinyal energi tersebut dapat mengakibatkan terjadinya respon keselarasan pergerakan energi sang obyek.
Teori pergerakan energi memang dapat dijadikan sebagai justifikasi terhadap kekuatan syair paremma. Sakralitasnya tidak saja terletak pada kekuatan syair itu tetapi juga pada prosesi pendahuluannya. Seseorang yang berkeinginan berguru kepada orang-orang yang otoritatif harus menjalani serangkaian ritual. Biasanya pengajar mantra adalah orang-orang yang telah terbukti mengamalkan ilmunya. Hal ini dapat diklasifikasi dalam berbagai tingkat penguasaan yang berbeda. Ada yang khusus diakui otoritasnya dibidang pemikat sukma yang ditandai dengan banyaknya istri. Ada yang khusus pada pengobatan. Ada juga yang spesifik pada ilmu hitam, bahkan ada yang menguasai semuanya. Oleh karena itu guru-guru syair biasanya berfungsi juga sebagai sanro (dukun) dalam masyarakat.
Prosesi pendahuluan yang mengawali penerimaan mantra tersebut biasanya diawali dengan baiat. Baiat disini dilakukan diatas sepotong kain putih. Upacara penerimaan ini secara langsung berpengaruh secara psikologis terhadap penerima. Sugesti ritual penerimaan itu semakin diperkuat dengan keharusan maccera (mengorbankan darah hewan seperti ayam kambing dll).
Syair duppamata sebagaimana yang telah diulas diatas sebenarnya masih merupakan ilmu pemikat sukma yang berada pada level rendah. Hal ini karena aktualisasinya masih mengharuskan pertemuan fisik yang berubah menjadi hipnotis. Syair tampa angkalungung (syair pukul bantal) bisa dianggap berada setingkat lebih tinggi di atasnya. Karena tampa angkalungung cukup menggunakan simbol bantal untuk melontarkan energi ke obyek yang dituju. Meskipun demikian syair duppa mata bisa dianggap sebagai pengantar untuk mencapai tingkatan yang lebih tinggi.
Duppa mata menegaskan komunikasi antara subyek yang memandang dengan obyek yang dipandang. Ketika transfer energi itu berhasil mencapai tingkat penyelarasan energi maka keduanya berubah menjadi subyek yang memandang. Penyelarasan energi ini memungkinkan terjadinya ketertarikan yang responsif. Dan disinilah ukuran keberhasilan aktualisasi syair tersebut. Barangkali inilah yang menyebabkan sehingga ada perintah untuk menundukkan pandangan dalam kitab suci. Karena pandangan biasa saja bisa berakibat jatuhnya hati apalagi jika disertai dengan sugesti hipnotik syair paremma duppa mata.

Tamalanrea Writing Institute (Lettepareppa)
Ritual Transenden dalam Tradisi Bercocok Tanam


Hasil yang paling nyata dari sebuah kemajuan seperti sekarang ini adalah merajalelanya kemubadziran-kemubadziran. Terlalu banyak barang, teori, maupun perbuatan yang secara prinsipil amat sangat berlebihan. Padahal hidup dalam perspektifnya yang sederhana tidaklah terlalu muluk.
Pandangan tradisional tentang hidup selalu menempatkan equiblibrimitas di atas segalanya. Bahwa hidup pada maknanya yang hakiki adalah keselarasan. Dan keselarasan tidaklah terlalu membutuhkan banyak hal. Keselarasan lebih menekankan keseimbangan, bukan hanya pada aspek mentalitas melainkan juga pada tindakan.
Dalam konteks masyarakat dewasa ini keselarasan menjadi suatu hal yang musykil. Tidak saja karena adanya kelimpahan material tetapi juga karena telah terjadi chaos sistematik di berbagai dimensi hidup. Disinilah paradoksnya manusia modern yang selalu menganggap sesuatu secara terpisah. Trend dewasa ini mengkampanyekan keselarasan spritual di atas carut marut sosial. Bahwa seseorang bisa saja mengakses tingkatan alam yang lebih tinggi meskipun dia adalah kaum borjuis. Bahkan kapitalisme diklaim mengarah ketingkat yang lebih spritual. Ini tak lebih dari sekedar apologi untuk mempertahankan status quo belaka.
Berbeda dengan pandangan modern yang terpisah-pisah, cara pandang tradisional selalu menempatkan hidup sebagai sebuah kesatuan. Dalam urusan pekerjaan, ia tidak dimaknai sebagai sebuah ikhtiar kemanusiaan mencari nafkah belaka, melainkan ia bagian dari sebuah perayaan. Jadi kerja fisik dalam satu tindakan nyata menegaskan tidak saja kewajiban kemanusiaan, tetapi mencakup didalamnya ritual, estetis dan bahkan estatik.
Kalau kita mencermati perilaku bercocok tanam dalam masyarakat yang masih mempertahankan tradisi ini, kita akan mendapati sederetan aktifitas yang didalamnya mencakup makna kesatuan ini. Sebelum benih padi siap ditanam, maka ada beberapa perlakuan yang menjadi keharusan. Terleih dahulu bibit diseleksi berdasarkan kwalitasnya. Setelah itu dimulailah ritual maddoja bine (ritual penghormatan terhadap benih yang diselenggarakan semalam suntuk). Di dalam ritual itu biasanya ada acara massure (pembacaan kisah sangiangseri dengan meongpaloe) dengan lagu yang menyayat hati. Tradisi massure ini telah menggabungkan kemampuan bertutur dengan seni suara.
Keesokan harinya dilanjutkanlah ritual mampo (menabur benih). Mampo bukanlah sekedar melempar benih secara sembarangan diersemaian. Tetapi ia harus diperlakukan dengan penuh khidmat. Bahkan harus melibatkan gerak-gerak lembut yang banyak menginspirasi penciptaan kreasi tari.
Setelah benih tersebut tumbuh dan mencapai masa tanam, maka dilakukanlah ritual massisi (mencabut benih). Kerja massisi ini pun membutuhkan ketelatenan dan uji kesabaran yang kental. Kerja massisi ini hanya bisa dilakukan secara maksimal oleh orang-orang yang stabil emosinya.
Benih yang sudah tercabut kemudian di tanam dipesawahan dalam ritual mattaneng (menanam padi). Setelah dalam masa tertentu padi mengeluarkan buahnya, maka diselenggarakanlah ritual maddupa buase ( suka cita keluarnya buah). Selanjutnya ketika buah padi tersebut mulai matang maka dimulailah ritual mappefulu (ritual menandai kematangan padi). Biasanya juga diselenggarakan pesta kecil mabbette (membuat panganan tradisional dengan menumbuk buah yang belum matang kemudian dicampur gula merah).
Prosesi selanjutnya adalah mengngala (panen). Dilanjutkan dengan mabbaca doang ase baru (syukuran atas adanya padi baru).
Setelah keseluruhan ritual itu diselenggarakan dalam rentang waktu yang panjang, maka diselenggarakanlah ritual padendang (ritual menumbuk lesung secara berirama). Uniknya, kalau seluruh ritual sebelumnya dilaksanakan sendiri-sendiri, di dalam ritual padendang diselenggarakan secara massal. Ritual padendang merefleksikan tanda kesyukuran sosial atas rezki yang melimpah.
Apa yang menarik dari rangkaian ritual petani tersebuat adalah kentalnya upaya transendensi. Pekerjaan tidak hanya dimaknai sebagai media untuk cari nafkah melainkan selalu ada upaya untuk membuktikan penghambaan kepada penciptaNya. Sakralitas sebuah pekerjaan ditandai dengan ritual mappammula (pembukaan). Ritual ini merupakan sejenis meditasi singkat yang di awali dengan pembakaran kemenyan dan minyak bauu (minyak mawar). Dalam meditasi itu, syair-syair dibacakan dengan sepenuh keyakinan.
Cara pandang holistik menempatkan kejamakan dalam kesatuan. Bahwa hidup bukanlah sesuatu yang terpisah melainkan nyata dalam keutuhannya. Disitulah gerak duniawi menemukan muaranya ke yang spritual karena proses transendensi tidak hanya berlaku pada ibadah ritual sebagaimana kaum formalis memaknainya. Tetapi hidup itu sendiri adalah ritual. Kerja itu sendiri adalah perayaan.
Harmoni Musik – Estetis dalam Meditasi Appangolongeng

Tarian estatik sama’ sebagaimana tradisi Maulana Rumi selalu diiringi dengan musik yang menggelora. musik dengan watak spritualnya merupakan pengantar memasuki gerbang alam ghaib.Bahkan Imam Al Ghazali meyakini urgensitas musik dalam sisi ini lebih tinggi daya gugah spritualnya ketimbang pembacaan ayat-ayat Qur’an. Tentu Beliau tidak bermaksud melecehkan sakralitas kesucian kitab samawi, melainkan berupaya menegaskan keselarasan aransemen musik dengan harmoni jiwa yang pada tingkat paling sublim mampu mengantar penikmatnya menuju keselarasan abadi PenciptaNya.
Pemanfaatan musik sebagai medium estatik juga dikenal dalam tradisi-tradisi lain. Kalau kita mencermati ritual Appangolongeng dalam tradisi masyarakat Sering, hal ini juga dapat ditemukan. Ritual Appangolongeng yang berarti menghadap ke otoritas yang sakral merupakan sebentuk meditasi untuk mappalettu (menyampaikan hajat). Namun tata caranya adalah murni meditasi “tennaleppa lila” tanpa doa-doa literal. Meditasi Appangolongeng merupakan bagian dari hampir semua upacara-upacara ritual masyarakat tradisional. Mulai dari upacara mappano lolo, mattonaisi, menre bola baru, maccera bola sampai ke upacara kematian Addojangeng.
Keunikan meditasi ini karena selalu diawali dengan pembakaran dupa penebar heharuman. Belakangan, Secara ilmiah hal ini bisa dimaklumi karena ternyata wangi-wangian erat kaitannya dengan penciptaan konsentrasi untuk lebih khusuk dalam prosesi tersebut.
Setelah wewangian menebarkan aroma mistiknya maka dimulailah prosesi berikutnya yakni menyalakan pesse pelleng (semacam lilin yang terbuat dati kemiri yang ditumbuk). Prosesi ini merupakan afirmasi terhadap otoritas sakral yang menjadi tujuan Appalettukeng (penyampaian). Ini didasai falsafah “Lettu memenno riwettu denafa mujokka” (Sampailah sebelum Engkau berangkat). Artinya, sebelum kita hendak melakukan sesuatu terlebih dahulu harus ditegaskan tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menyangkut juga mengenai pelurusan niat serta ketulusan. Dan yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana meditasi tennaleppa lila tersebut haqqul yaqin benar-benar “sampai” tanpa keraguan didalamnya.
Prosesi afirmasi “mattunu pesse pelleng” merupakan simbol terhadap tingkatan otoritas yang disakralkan. Hal ini bisa dipahami dengan melihat pemahaman kosmologis tradisional bugis yang juga mengakui struktur tripartit kosmos (tiga tingkatan semesta) yakni botillangi (alam atas), alebola (alam tengah) dan wawo tana (alam bawah). Struktur ini mengejawantah dalam rumah panggung tradisional.
Hierarki kosmos di atas secara tradisional selaras dengan penguasa alam dalam tingkatnya masing-masing. Sebagaimana alam memiliki tiga tingkatan, maka terdapat juga tiga tingkat penguasanya. Engka Puang Sewwa-E (Tuhan Yang Esa) Engka Puanna Sewwa-Sewwa-E (pandangan tradisional menyatakan bahwa setiap ciptaan memiliki pemimpin khafilahnya sendiri-sendiri yang diistilahkan malaikat pakkammpiE) . Terakhir, Puang Lise Kammpong (pandangan tradisional juga menganggap penguasa pemerintahan sebagai pengemban amanah suci tomanurung). Hubungannya dengan meditasi appangolongeng, afirmasi mattunu pesse pelleng terhadap Puang SewwaE sebagai wujud Assompangeng (penyembahan). Terhadap Puang Sewwa-SewwaE serta Puang Lise Kampong semata-mata sebagai bentuk appakarajangeng (penghormatan).
Maka dalam meditasi appangolongeng, secara hierarkis harus dimulai dari tingkatan paling rendah menuju tingkatan paling tinggi. Mulai dari appakarajangeng menuju ke assompangeng. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa tiga tingkatan penguasa alam memiliki pertalian hierarkis. Oleh karena itu dalam tata pemerintahan masyarakat tradisional cenderung aristokratik karena Penguasa pemerintahan harus mendapat titah dari tomanurung dengan kwalifikasi otoritatif yang dimilikinya. Disini meditasi appangolongeng menempatkan dirinya dalam tiga tahapan hierarkis yang berkesinambungan.
Setelah prosesi mattunu pesse pelleng selesai maka mulailah musik dimainkan. Gendang ditabuh dimulai dengan ketukan satu satu dilanjutkan dengan ketukan yang agak cepat berirama. Berbeda dengan gendang yang bergelora, musik lea-lea yang terdiri dari potongan dua ruas bambu yang bagian dalamnya terpecah-pecah di pukul dengan irama yang datar. Musik bambu lea-lea ini hanyalah merupakan musik pengiring yang menciptakan harmoni dengan irama gendang yang bergairah. Perpaduan aransemen yang sederhana itu mampu melahirkan bunyi mistikal yang menggugah sehingga terbentuklah konsentrasi meditatif yang benar-benar utuh.
Hal yang menarik dari aransemen tersebut adalah kentalnya pemilahan gender berdasarkan karakternya. Gendang yang bergelora selalu dimainkan oleh laki-laki sementara Lea-lea yang datarselalu dimainkan oleh perempuan. Boleh jadi hal ini dimaksudkan sebagai refleksi sifat perempuan yang stabil secara meditatif. Yang mana mampu memasuki gerbang keheningan yang menyesak keharuan mistiknya dengan amat sangat responsif. Sementara lelaki dalam watak meditatifnya membutuhkan semacam lecutan yang mampu melontarkannya dalam pusaran energi yang serba cepat. Dengan adanya ransangan musik bergelora tersebut mampu melejitkan potensi mistiknya melampaui alam material dari mana bunyi itu berasal.
Apapun tafsiran atas perbedaan irama dan karakter gender yang bisa disimpulkan, satu hal yang jelas bahwa dalam setiap prosesi meditatif selalu harus melibatkan unsur laki-laki dan perempuan. Keduanya harus sinergis dan menempati bidang dan ruang yang sama. Yang berarti secara potensial keduanya terbuka peluang untuk melejitkan potensi spritualnya.
. Dalam penataan ruang tempat meditasi itu dilaksanakan, dibuatlah semacam panggung kecil yang tersusun dari beberapa bantal yang dilapisi kain putih. Di atas panggung kecil itu ditempatkanlah makanan yang ditata secara artistik. Ada sokko fatanrupa (beras ketan warnawarni) yang dibentuk seperti tumpeng, diatasnya ditempatkan telur serta pada sisinya dihiasi dengan daun lontar berbentuk melingkar.
Pengadaan makanan dalam meditasi appangolongeng sering dituding oleh kaum formalis sebagai sebentuk keberhalaan. Padahal secara tradisional hal tersebut dimaknai dengan sangat filosofis. Makanan yang ditata artistik menegaskan tentang pentingnya melibatkan unsur-unsur estetis dalam meditasi. Keteraturan itu bahkan akan mempercepat terciptanya konsentrasi meditatif. Hal ini sealigus menegaskan bahwa harmoni spritual takkan mungkin diraih jika keteraturan material diabaikan.
Sonkolo Patanrupa bahkan tidak semata-mata estetik dalam perpaduan warnanya. Tetapi mewakili sebuah pandangan dunia tradisional tentang empat unsur alam semesta. Warna hitam menyimbolkan tanah, warna merah adalah api, warna putih adalah air dan kuning adalah angin. Penataan tumpeng songkolo fatanrupa yang menempatkan telur diatasnya bisa dimaknai. Bahwa dalam meditasi, energi kasar harus diubah menjadi energi yang sangat halus baru bisa menembus membran lapisan inti kosmos yang disimbolkan dengan telur tersebut.
Meditasi Appangolongeng juga menegaskan signifikansi pimpinan spritual yang berpusat kepada satu orang sebagaimana kesatuan poros semesta dalam Allah. Seseorang yang bertugas memimpin meditasi itu haruslah orang yang memiliki kwalifikasi spritual yang dibuktikan dengan keterlibatan sosialnya mengayomi masyarakat. Kesalahan memilih pemimpin meditasi spritual yang tidak otoritatif dipercaya bisa menimbulkan ekses sosial dan ekologis yang diistilahkan “mapella pakkalinongnge”. Apakah dalam bentuk wabah penyakit atau bencana tertentu. Di sini pandangan tradisional mengakui hubungan timbal balik antara harmoni spritual dengan keteraturan tatanan material.
Ritual meditasi appangolongeng dalam harmoninya yang estetis dan dalam substansinya yang spritual dapat dilacak sebagai ajaran universal dalam setiap tradisi yang pernah ada dimuka bumi, meskipun tampil dalam modifikasi yang berbeda. Sehingga tradisi spritual dalam kurun spasio temporal tertentu menjadi sangat tidak layak untuk dipertentangkan. Melainkan harus dilestarikan karena sebagaimana Istilah Sayyid Hossein Nashr sebagai jantung setiap tradisi yang menjadi cara pandang holistik tentang hidup dan kehidupan.