Harmoni Musik – Estetis dalam Meditasi Appangolongeng Tarian estatik sama’ sebagaimana tradisi Maulana Rumi selalu diiringi dengan musik yang menggelora. musik dengan watak spritualnya merupakan pengantar memasuki gerbang alam ghaib.Bahkan Imam Al Ghazali meyakini urgensitas musik dalam sisi ini lebih tinggi daya gugah spritualnya ketimbang pembacaan ayat-ayat Qur’an. Tentu Beliau tidak bermaksud melecehkan sakralitas kesucian kitab samawi, melainkan berupaya menegaskan keselarasan aransemen musik dengan harmoni jiwa yang pada tingkat paling sublim mampu mengantar penikmatnya menuju keselarasan abadi PenciptaNya.
Pemanfaatan musik sebagai medium estatik juga dikenal dalam tradisi-tradisi lain. Kalau kita mencermati ritual Appangolongeng dalam tradisi masyarakat Sering, hal ini juga dapat ditemukan. Ritual Appangolongeng yang berarti menghadap ke otoritas yang sakral merupakan sebentuk meditasi untuk mappalettu (menyampaikan hajat). Namun tata caranya adalah murni meditasi “tennaleppa lila” tanpa doa-doa literal. Meditasi Appangolongeng merupakan bagian dari hampir semua upacara-upacara ritual masyarakat tradisional. Mulai dari upacara mappano lolo, mattonaisi, menre bola baru, maccera bola sampai ke upacara kematian Addojangeng.
Keunikan meditasi ini karena selalu diawali dengan pembakaran dupa penebar heharuman. Belakangan, Secara ilmiah hal ini bisa dimaklumi karena ternyata wangi-wangian erat kaitannya dengan penciptaan konsentrasi untuk lebih khusuk dalam prosesi tersebut.
Setelah wewangian menebarkan aroma mistiknya maka dimulailah prosesi berikutnya yakni menyalakan pesse pelleng (semacam lilin yang terbuat dati kemiri yang ditumbuk). Prosesi ini merupakan afirmasi terhadap otoritas sakral yang menjadi tujuan Appalettukeng (penyampaian). Ini didasai falsafah “Lettu memenno riwettu denafa mujokka” (Sampailah sebelum Engkau berangkat). Artinya, sebelum kita hendak melakukan sesuatu terlebih dahulu harus ditegaskan tujuan yang hendak dicapai. Hal ini menyangkut juga mengenai pelurusan niat serta ketulusan. Dan yang paling penting dari itu semua adalah bagaimana meditasi tennaleppa lila tersebut haqqul yaqin benar-benar “sampai” tanpa keraguan didalamnya.
Prosesi afirmasi “mattunu pesse pelleng” merupakan simbol terhadap tingkatan otoritas yang disakralkan. Hal ini bisa dipahami dengan melihat pemahaman kosmologis tradisional bugis yang juga mengakui struktur tripartit kosmos (tiga tingkatan semesta) yakni botillangi (alam atas), alebola (alam tengah) dan wawo tana (alam bawah). Struktur ini mengejawantah dalam rumah panggung tradisional.
Hierarki kosmos di atas secara tradisional selaras dengan penguasa alam dalam tingkatnya masing-masing. Sebagaimana alam memiliki tiga tingkatan, maka terdapat juga tiga tingkat penguasanya. Engka Puang Sewwa-E (Tuhan Yang Esa) Engka Puanna Sewwa-Sewwa-E (pandangan tradisional menyatakan bahwa setiap ciptaan memiliki pemimpin khafilahnya sendiri-sendiri yang diistilahkan malaikat pakkammpiE) . Terakhir, Puang Lise Kammpong (pandangan tradisional juga menganggap penguasa pemerintahan sebagai pengemban amanah suci tomanurung). Hubungannya dengan meditasi appangolongeng, afirmasi mattunu pesse pelleng terhadap Puang SewwaE sebagai wujud Assompangeng (penyembahan). Terhadap Puang Sewwa-SewwaE serta Puang Lise Kampong semata-mata sebagai bentuk appakarajangeng (penghormatan).
Maka dalam meditasi appangolongeng, secara hierarkis harus dimulai dari tingkatan paling rendah menuju tingkatan paling tinggi. Mulai dari appakarajangeng menuju ke assompangeng. Hal ini sekaligus menegaskan bahwa tiga tingkatan penguasa alam memiliki pertalian hierarkis. Oleh karena itu dalam tata pemerintahan masyarakat tradisional cenderung aristokratik karena Penguasa pemerintahan harus mendapat titah dari tomanurung dengan kwalifikasi otoritatif yang dimilikinya. Disini meditasi appangolongeng menempatkan dirinya dalam tiga tahapan hierarkis yang berkesinambungan.
Setelah prosesi mattunu pesse pelleng selesai maka mulailah musik dimainkan. Gendang ditabuh dimulai dengan ketukan satu satu dilanjutkan dengan ketukan yang agak cepat berirama. Berbeda dengan gendang yang bergelora, musik lea-lea yang terdiri dari potongan dua ruas bambu yang bagian dalamnya terpecah-pecah di pukul dengan irama yang datar. Musik bambu lea-lea ini hanyalah merupakan musik pengiring yang menciptakan harmoni dengan irama gendang yang bergairah. Perpaduan aransemen yang sederhana itu mampu melahirkan bunyi mistikal yang menggugah sehingga terbentuklah konsentrasi meditatif yang benar-benar utuh.
Hal yang menarik dari aransemen tersebut adalah kentalnya pemilahan gender berdasarkan karakternya. Gendang yang bergelora selalu dimainkan oleh laki-laki sementara Lea-lea yang datarselalu dimainkan oleh perempuan. Boleh jadi hal ini dimaksudkan sebagai refleksi sifat perempuan yang stabil secara meditatif. Yang mana mampu memasuki gerbang keheningan yang menyesak keharuan mistiknya dengan amat sangat responsif. Sementara lelaki dalam watak meditatifnya membutuhkan semacam lecutan yang mampu melontarkannya dalam pusaran energi yang serba cepat. Dengan adanya ransangan musik bergelora tersebut mampu melejitkan potensi mistiknya melampaui alam material dari mana bunyi itu berasal.
Apapun tafsiran atas perbedaan irama dan karakter gender yang bisa disimpulkan, satu hal yang jelas bahwa dalam setiap prosesi meditatif selalu harus melibatkan unsur laki-laki dan perempuan. Keduanya harus sinergis dan menempati bidang dan ruang yang sama. Yang berarti secara potensial keduanya terbuka peluang untuk melejitkan potensi spritualnya.
. Dalam penataan ruang tempat meditasi itu dilaksanakan, dibuatlah semacam panggung kecil yang tersusun dari beberapa bantal yang dilapisi kain putih. Di atas panggung kecil itu ditempatkanlah makanan yang ditata secara artistik. Ada sokko fatanrupa (beras ketan warnawarni) yang dibentuk seperti tumpeng, diatasnya ditempatkan telur serta pada sisinya dihiasi dengan daun lontar berbentuk melingkar.
Pengadaan makanan dalam meditasi appangolongeng sering dituding oleh kaum formalis sebagai sebentuk keberhalaan. Padahal secara tradisional hal tersebut dimaknai dengan sangat filosofis. Makanan yang ditata artistik menegaskan tentang pentingnya melibatkan unsur-unsur estetis dalam meditasi. Keteraturan itu bahkan akan mempercepat terciptanya konsentrasi meditatif. Hal ini sealigus menegaskan bahwa harmoni spritual takkan mungkin diraih jika keteraturan material diabaikan.
Sonkolo Patanrupa bahkan tidak semata-mata estetik dalam perpaduan warnanya. Tetapi mewakili sebuah pandangan dunia tradisional tentang empat unsur alam semesta. Warna hitam menyimbolkan tanah, warna merah adalah api, warna putih adalah air dan kuning adalah angin. Penataan tumpeng songkolo fatanrupa yang menempatkan telur diatasnya bisa dimaknai. Bahwa dalam meditasi, energi kasar harus diubah menjadi energi yang sangat halus baru bisa menembus membran lapisan inti kosmos yang disimbolkan dengan telur tersebut.
Meditasi Appangolongeng juga menegaskan signifikansi pimpinan spritual yang berpusat kepada satu orang sebagaimana kesatuan poros semesta dalam Allah. Seseorang yang bertugas memimpin meditasi itu haruslah orang yang memiliki kwalifikasi spritual yang dibuktikan dengan keterlibatan sosialnya mengayomi masyarakat. Kesalahan memilih pemimpin meditasi spritual yang tidak otoritatif dipercaya bisa menimbulkan ekses sosial dan ekologis yang diistilahkan “mapella pakkalinongnge”. Apakah dalam bentuk wabah penyakit atau bencana tertentu. Di sini pandangan tradisional mengakui hubungan timbal balik antara harmoni spritual dengan keteraturan tatanan material.
Ritual meditasi appangolongeng dalam harmoninya yang estetis dan dalam substansinya yang spritual dapat dilacak sebagai ajaran universal dalam setiap tradisi yang pernah ada dimuka bumi, meskipun tampil dalam modifikasi yang berbeda. Sehingga tradisi spritual dalam kurun spasio temporal tertentu menjadi sangat tidak layak untuk dipertentangkan. Melainkan harus dilestarikan karena sebagaimana Istilah Sayyid Hossein Nashr sebagai jantung setiap tradisi yang menjadi cara pandang holistik tentang hidup dan kehidupan.